Bukti Kebohongan China Makin Terbongkar, Jumlah Korban Corona Negeri Tirai Bambu Mencengakan
China masih saja menutup rapat informasi mengenai jumlah kasus infeksi virus corona di negara ini
Sejauh ini, China hanya melaporkan sekitar 80 ribu kasus, sementara di negara lain sudah lebih dari jumlah tersebut
Laporan China tersebut tak sepenuhnya diterima oleh sejumlah negera seperti Inggris an Amerika yang jumlah kasus Covid-19 di negara tersebut sudah melebihi China
Padahal China sebagai negar asal virus corona mestinya jauh lebih tinggi dari jumlah yang dilaporkan tersebut
Laporan tersebut diduga salah satu kebohongan besar terkasi kasus virus corona
Kebohongan China soal virus corona tersebut akhirnya kembali bocor ke publik.
Kondisi kota Wuhan bak Kota Mati
Kondisi kota Wuhan bak Kota Mati di awal wabah virus corona akhir tahun 2019 (Youtube/Channel 4 News)
Setelah database sebuah universitas di China yang merekam kasus Covid-19 bocor.
Informasi yang bocor mengatakan bahwa kasus Covid-19 di Tiongkok kemungkinan sudah tembus lebih dari 600 ribu kasus.
Melansir dari Mirror, angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan laporan resmi Tiongkok, yakni sebanyak 82.933 kasus.
Sebelumnya, banyak pihak yang meyakini bahwa Negeri Tirai Bambu memiliki kasus yang jauh lebih besar dari yang dilaporkan secara resmi.
Tudingan itu semakin menguat setelah database dari Universitas Teknologi Pertahanan Nasional menunjukkan bahwa China telah mencatat 640.000 kasus.
Data yang dilihat oleh situs berita kebijakan luar negeri dan nirlaba 100 Reporters, kasus tersebut terjadi di 230 kota.
Adapun jumlah total kasus tersebut dikatakan tercatat dari awal Februari hingga akhir April.
Antrian warga yang terjangkit virus Corona di Rumah Sakit Wuhan
Antrian warga yang terjangkit virus Corona di Rumah Sakit Wuhan ((Intisari))
Daftar kasus tersebut didata berdasarkan jumlah kasus di berbagai lokasi di seluruh China.
Termasuk hotel, rumah sakit, bahkan restoran ayam KFC yang terletak di Zhenjiang.
Dari 640.000 data yang bocor, diperkirakan terdiri dari satu kasus, lapor Mail Online.
Angka tersebut bisa jauh lebih tinggi karena beberapa dari daftar yang masuk mencatat lebih dari satu kasus.
Tapi angka itu juga bisa menjadi lebih rendah mengingat metodologi yang digunakan tidak jelas.
Selain itu, ada pula kasus yang dihitung beberapa kali.
Bulan lalu, Amerika Serikat (AS) menuding China telah menutupi jumlah kasus dan korban virus corona yang sesungguhnya.
Pejabat AS mengklaim kesimpulan dari laporan Gedung Putih menyatakan bahwa angka yang dilaporkan secara resmi oleh China itu palsu.
Saat ditanya soal angka kematian virus corona di AS, yang kini mencapai lebih dari 87 ribu, Presiden Donald Trump mengatakan :
"Apakah Anda berpikir telah mengetahui angka sesungguhnya dari beberapa negara itu?"
"Apakah Anda percaya angka-angka dari negara besar yang bernama China ini?"
"Memang mereka memiliki sejumlah kasus dan kematian."
"Apakah ada yang benar-benar mepercayainya?"
"Laporan yang kami buat sangat baik dan kami melaporkan setiap kematian."
"Kami memiliki banyak kasus karena kami melaporkan lebih banyak."
"Apakah ada yang benar-benar percaya jumlah dari beberapa negara yang Anda tonton dan laporkan ini?"
* Peneliti China Temukan Virus Serupa Covid-19 di Kelelawar, Bukti Corona Tak Bocor dari Laboratorium?
China terus berupaya menampik tudingan Amerika dan Eropa bahwa virus Corona bukan berasal dari Laboratorium Wuhan yang bocor.
Tidak sekedar argumentasi, para peneliti China membuktikan melalui hasil penelitian terbaru yang menemukan virus serupa covid-19 pada kelelawar.
Akankah Amerika dan Eropa percaya?
Penelitian mengenai virus corona masih terus dikembangkan oleh para peneliti di seluruh penjuru dunia.
Terbaru, peneliti menemukan virus serupa dengan Covid-19 pada kelelawar.
Temuan ini diklaim menjadi bukti bahwa virus corona tak bocor dari laboratorium.
Pandemi corona masih menjadi masalah serius yang dihadapi oleh negara di berbagai belahan dunia.
Mengutip dari worldometers.info, hingga Rabu (13/5/2020) malam, terdapat 4,3 juta orang di dunia yang telah terinfeksi.
Amerika Serikat menjadi negara yang menduduki posisi pertama kasus Covid-19 terbanyak.
Total ada 1,4 juta kasus dengan 83 ribu kematian.
Meski pertama kali muncul di Wuhan, China, nyatanya kasus terbanyak justru diduduki oleh negara-negara Amerika dan Eropa.
Belakangan ini, muncul teori bahwa virus corona merupakan hasil kebocoran dari laboratorium di Wuhan.
Presiden AS Donald Trump terus menyebut bahwa Covid-19 bermula dari Insitut Virologi Wuhan.
Sebuah penelitian terbaru di China seolah menampik tuduhan Trump.
Peneliti baru saja menemukan "kerabat dekat" virus corona pada kelelawar di Tiongkok.
Penemuan ini mungkin akan menambah bukti teori bahwa patogen pandemi tersebut berevolusi secara alami.
Studi ini dilakukan oleh para peneliti China dan Australia.
Dalam studi peer-review yang akan diterbitkan dalam jurnal Current Biology, ditemukan bahwa kedua virus memiliki keterkaitan fitur untuk memicu penyakit.
Mengutip South China Morning Post, para peneliti mengatakan bahwa temuan tersebut menunjukkan karakteristik virus yang berkembang secara alami, bukan gen buatan seperti yang dikatakan beberapa orang.
Peneliti menemukan kerabat dekat yang disebut RmYNo2 di antara 227 sampel kelelawar.
Sampel dikumpulkan di Provinsi Yunnan di China barat daya antara Mei dan Oktober tahun lalu.
Seperti Sars-CoV-2, RmYNo2 juga memiliki sisipan asam amino di persimpangan subunit protein lonjakannya.
Sisipan tersebut dianggap dapat meningkatkan kapasitas virus corona untuk menyebabkan penyakit.
Sebelumnya hal ini dianggap tak biasa bahkan dinilai merupakan manipulasi laboratorium.
"Temuan kami menunjukkan bahwa peristiwa penyisipan ini, yang awalnya tampak sangat tidak biasa, dapat, pada kenyataannya, terjadi secara alami pada betacoronavirus hewan," kata Direktur Institutes of Patogen Biology Profesr Shi Weifeng kepada Science Daily.
Weifeng menambahkan, temuan ini jyga menjadi bukti kuat bahwa virus corona tak bocor dari laboratorium.
"Ini memberikan bukti pertentangan kuat bahwa Sars-CoV-2 telah melarikan diri dari laboratorium," katanya.
Para peneliti juga mengonfirmasi bahwa kelelawar tapal kuda Melayu, yang banyak ditemukan di seluruh barat daya China dan Asia Tenggara adalah tuan rumah RmYNo2.
Kelelawar menjadi reservoir alami yang penting untuk coronavirus.
Meskipun memiliki fitur penyisipan yang serupa, RmYNo2 tampaknya jauh lebih aman untuk manusia daripada Covid-19.
Perbedaan mendasar yakni RmYNo2 tak memiliki bagian penting dari genom Sars-CoV-2 yang berperan dalam mengikat virus corona ke sel manusia.
Asam amino dalam insersi juga berbeda.
Para peneliti menyebut, RmYNo2 bukan leluhur langsung dari Sars-CoV-2.
Menurut Weifeng, masih ada celah dalam proses evolusi virus-virus tersebut.
“Masih ada celah evolusi antara virus-virus ini. Tetapi penelitian kami sangat menyarankan bahwa pengambilan sampel lebih banyak spesies satwa liar akan mengungkapkan virus yang bahkan lebih dekat hubungannya dengan Sars-CoV-2 dan bahkan mungkin leluhur langsungnya, yang akan memberi tahu kita banyak tentang bagaimana virus ini muncul pada manusia, " katanya.
* Tindaklanjuti Tudingan terhadap China, WHO Minta Negara-negara Investigasi Kasus Awal Covid-19
Banyaknya dorongan untuk melakukan penyelidikan awal mula virus corona, lebih-lebih Amerika Serikat yang terang-terangan menuding China yang membuat Covid-19 itu, membuat WHO tidak bisa tinggal diam.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (5/5/2020) meminta negara-negara di dunia untuk menginvestigasi kasus awal Covid-19 yang mencurigakan seperti yang terjadi di Perancis.
Dilansir dari Reuters, Sebuah rumah sakit di Perancis yang melakukan uji ulang sampel dari pasien pneumonia menemukan bahwa rumah sakit itu rupanya telah merawat pasien dengan Covid-19 pada 27 Desember 2019, hampir satu bulan sebelum pemerintah Perancis mengonfirmasi kasus Covid-19 pertama di negara itu.
Tim peneliti Perancis yang dipimpin oleh Yves Cohen, kepala resusitasi di rumah sakit Avicenne dan Jean Verdier, menguji ulang sampel dari 24 pasien yang diobati pada Desember 2019 dan Januari lalu dan negatif flu sebelum Covid-19 berkembang menjadi pandemi.
Hasil uji itu diterbitkan dalam International Journal of Antimicrobial Agents dan menunjukkan bahwa satu pasien, seorang pria berusia 42 tahun kelahiran Aljazair dan telah tinggal lama di Perancis bertahun-tahun serta berprofesi sebagai pedagang ikan segar terinfeksi Covid-19.
"Satu bulan sebelum kasus pertama dilaporkan di negara kami," kata laporan itu.
Respons WHO
Hasil yang dilaporkan dari jurnal internasional itu dianggap WHO 'tidak mengejutkan'.
"Sangat memungkinkan bila ada beberapa kasus awal yang ditemukan," ujar juru bicara WHO, Christian Lindmeier pada rapat singkat PBB di Jenewa.
Untuk itu, dia mendesak negara lain untuk memeriksa rekam kasus pada akhir 2019. Tindakan itu akan memberi pandangan baru dan lebih jelas untuk dunia terkait wabah virus corona.
Pakar independen mengatakan penemuan itu dibutuhkan penyelidikan lebih lanjut.
"Tidak dimungkiri kasus ini ada di awal, namun buktinya masih belum dikonklusikan," ungkap Jonathan Ball, seorang profesor molekular virologi di Universitas Britain di Notthingham.
Seorang pakar dari Universitas Leeds, lembaga penelitian medis Stephen Griffin mengatakan bahwa penemuan itu adalah penemuan penting yang potensial.
Dia juga menambahkan, "Kita harus waspada ketika menginterpretasikan penemuan-penemuan ini."
Sementara itu, Yves Cohen mengatakan pada televisi Perancis pada Senin (4/5/2020) bahwa terlalu dini mengatakan jika pasien yang perjalanan terakhirnya di Aljazair pada Agustus 2019 itu adalah pasien awal Covid-19 di Perancis.
Namun, identifikasi pasien terinfeksi pertama merupakan minat epidemiologis yang besar karena telah mengubah pengetahuan secara dramatis tentang Sars-Cov-2 dan penyebarannya di Perancis, demikian tulis Cohen dan rekan penelitinya di surat kabar yang merinci tentang penemuan mereka itu.
Mereka mengatakan tidak adanya hubungan dengan China dan kurangnya perjalanan baru-baru ini menunjukkan bahwa penyakit ini sudah menyebar di antara populasi Perancis pada akhir Desember 2019.
Perancis, negara dengan hampir 25.000 orang meninggal akibat Covid-19 sejak 1 Maret lalu, mengonfirmasi tiga kasus pertamanya pada 24 Januari, termasuk dua pasien di Paris dan satu lagi di kota barat daya Bordeaux.
Rowland Kao, seorang profesor epidemiologi hewan dan ilmu data di Universitas Edinburgh, mengatakan bahwa bahkan jika penemuan itu dikonfirmasi, identifikasi Covid-19 yang positif pada bulan Desember.
"Tidak selalu mengindikasikan bahwa penyebaran Covid-19 dari Perancis dimulai sedini ini. Jika dikonfirmasi, apa yang perlu disorot dari kasus ini adalah kecepatan penularannya yang bermula dari tampaknya tempat terpencil dapat menyebar ke tempat lain dengan cepat."
WHO Ingin Berpartisipasi
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada Jumat (1/5/2020) bahwa pihak mereka berharap China mengundang mereka berperan dalam penyelidikan terhadap asal-usul hewan apa yang menyebabkan kemunculan virus corona.
Juru bicara WHO, Tarik Jasarevic mengatakan kepada media Perancis AFP lewat e-mail, "WHO akan tertarik untuk bekerja dengan mitra internasional dan atas undangan pemerintah China untuk berpartisipasi dalam investigasi seputar asal-usul hewan (penyebab Corona)."
Dia mengatakan badan kesehatan PBB memahami bahwa ada sejumlah penyelidikan yang dilakukan China untuk lebih mengerti sumber wabah.
Namun, WHO menambahkan saat ini mereka tidak terlibat dalam studi China tersebut.
Para ilmuwan meyakini virus pembunuh itu berpindah dari hewan ke manusia dan muncul pertama kali di China akhir tahun lalu.
Kemungkinan pertama kali munculnya di sebuah pasar yang menjual hewan eksotik untuk dikonsumsi di kota Wuhan, Provinsi Hubei China.
Akan tetapi, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah memicu spekulasi dan rumor yang ditolak secara umum oleh para ahli.
Bahwa, virus itu mungkin muncul di laboratorium China yang sangat rahasia.
WHO juga menghadapi kritik pedas dari presiden Trump yang awal bulan ini menangguhkan pendanaan kepada badan internasional itu.
Trump menuduh WHO telah meremehkan keseriusan wabah dan bertekuk lutut di hadapan China.
Kepala badan kesehatan PBB, Tedros Adhanom Ghebreyesus sebelumnya memang melakukan perjalanan dengan sebuah tim ke China pada akhir Januari dan bertemu dengan presiden China, Xi Jinping untuk menindak lanjuti respons China tentang wabah.
Namun, penyelidikan yang dilakukan telah dilakukan di China, WHO belum dilibatkan.
"Studi penyelidikan yang tengah berlangsung itu melihat kasus manusia dengan gejala saat wabah berlangsung di Wuhan akhir 2019.
Sampel lingkungan dari pasar dan peternakan di area di mana kasus pertama terjadi dan rekaman detil dari sumber dan tipe spesies hewan liar serta hewan ternak yang dijual di pasar itu," ungkap Jasarevic.
Dia menegaskan bahwa hasil dari kajian asal virus "penting untuk mencegah masuknya penyakit zoonosis lebih lanjut yang menyebabkan Covid-19 ke populasi manusia."
Dia juga mengatakan kalau WHO terus berkolaborasi dengan pakar kesehatan manusia dan hewan, beberapa negara dan mitra lainnya untuk mengidentifikasi kesenjangan dan priorittas penelitian untuk pengendalian Covid-19.
Termasuk, identifikasi sumber virus di China.
Bukan Buatan Manusia
WHO menegaskan, virus corona bukan buatan manusia setelah Presiden AS Donald Trump mengklaim berasal dari laboratorium.
April lalu, sang presiden menyatakan bahwa Covid-19 dibuat di China. Bahkan, dia mengaku mempunyai dasar argumen tudingannya.
"Ya, saya punya. Saya kira WHO harus malu dengan diri mereka, karena mereka seperti juru bicara bagi China," sembur Donald Trump.
Namun Maria Van Kerkhove, koordinator teknis untuk Covid-19 berusaha mematahkan klaim sang presiden dengan berujar, virus corona berasl dari kelelawar.
"Keluarga virus corona biasanya berputar di antara binatang, dengan banyak variannya berasal dari kelelawar," kata Maria Van Kerkhove kepada BBC's Andrew Marr.
Dilansir Daily Mirror Minggu (3/5/2020), Maria Van Kerkhove menerangkan berdasarkan urutan genom yang ada, virus bernama resmi SARS-Cov-2 itu berasal dari alam.
Karena mereka menganggap sumbernya berasal dari alam, Maria Van Kerkhove mengatakan bahwa fokus badan kesehatan adalah mencari hewan perantara.
"Kami harus memahami siapa perantaranya. Yakni hewan yang kemungkinan terinfeksi dari kelelawar sebelum menginfeksi manusia," jelas Maria Van Kerkhove.
Dengan mengidentifikasi hewan transisi itu, maka mereka bisa menentukan kebijakan untuk memutus rantai penyebaran pandemi virus corona.
Dr Van Kerkhove melanjutkan, setiap negara harus tetap waspada dan bersiap menghadapi jika ada gelombang transmisi baru SARS-Cov-2.
Dia menjawab masih mungkin, saat ditanyakan apakah gelombang kedua bisa terjadi di negara-negara yang mulai melonggarkan lockdown mereka.
"Yang kami lihat dari negara yang sukses dalam menangkal penularan adalah, masyarakatnya masih bersikap skeptis," papar Maria Van Kerkhove.
"Karena itu, semua negara sekali lagi tetap waspada terhadap segala penularan, meski mereka sukses dalam memutus mata penyebaran," papar dia.
Dia merespons ucapan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengenai perlunya masker untuk tetap keluar rumah saat lockdown dilonggarkan.
Maria Van Kerkhove menjelaskan, masker memang direkomendasikan WHO. Tetapi, penutup wajah saja tidak mampu mengatasi wabah ini.
"Terutama jika Anda berbicara soal lockdown. Banyak yang harus disiapkan jika ingin mengangkatnya, dan harus dilakukan bertahap," ujar dia.
Maria Van Kerkhove melanjutkan, orang yang sudah terinfeksi virus corona akan mendapat dampak. Seperti kerusakan di bagian paru-paru.
"Kita harus tetap mengikuti individu ini. Kita masih empat bulan terkena wabah. Jadi ini adalah momen yang sangat awal," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "WHO Minta Negara-negara di Dunia Investigasi Kasus Awal Covid-19"
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Peneliti Temukan Virus Serupa Covid-19 pada Kelelawar, Bukti Corona Tak Bocor dari Laboratorium,
Editor: Alfred Dama
Sejauh ini, China hanya melaporkan sekitar 80 ribu kasus, sementara di negara lain sudah lebih dari jumlah tersebut
Laporan China tersebut tak sepenuhnya diterima oleh sejumlah negera seperti Inggris an Amerika yang jumlah kasus Covid-19 di negara tersebut sudah melebihi China
Padahal China sebagai negar asal virus corona mestinya jauh lebih tinggi dari jumlah yang dilaporkan tersebut
Laporan tersebut diduga salah satu kebohongan besar terkasi kasus virus corona
Kebohongan China soal virus corona tersebut akhirnya kembali bocor ke publik.
Kondisi kota Wuhan bak Kota Mati
Kondisi kota Wuhan bak Kota Mati di awal wabah virus corona akhir tahun 2019 (Youtube/Channel 4 News)
Setelah database sebuah universitas di China yang merekam kasus Covid-19 bocor.
Informasi yang bocor mengatakan bahwa kasus Covid-19 di Tiongkok kemungkinan sudah tembus lebih dari 600 ribu kasus.
Melansir dari Mirror, angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan laporan resmi Tiongkok, yakni sebanyak 82.933 kasus.
Sebelumnya, banyak pihak yang meyakini bahwa Negeri Tirai Bambu memiliki kasus yang jauh lebih besar dari yang dilaporkan secara resmi.
Tudingan itu semakin menguat setelah database dari Universitas Teknologi Pertahanan Nasional menunjukkan bahwa China telah mencatat 640.000 kasus.
Data yang dilihat oleh situs berita kebijakan luar negeri dan nirlaba 100 Reporters, kasus tersebut terjadi di 230 kota.
Adapun jumlah total kasus tersebut dikatakan tercatat dari awal Februari hingga akhir April.
Antrian warga yang terjangkit virus Corona di Rumah Sakit Wuhan
Antrian warga yang terjangkit virus Corona di Rumah Sakit Wuhan ((Intisari))
Daftar kasus tersebut didata berdasarkan jumlah kasus di berbagai lokasi di seluruh China.
Termasuk hotel, rumah sakit, bahkan restoran ayam KFC yang terletak di Zhenjiang.
Dari 640.000 data yang bocor, diperkirakan terdiri dari satu kasus, lapor Mail Online.
Angka tersebut bisa jauh lebih tinggi karena beberapa dari daftar yang masuk mencatat lebih dari satu kasus.
Tapi angka itu juga bisa menjadi lebih rendah mengingat metodologi yang digunakan tidak jelas.
Selain itu, ada pula kasus yang dihitung beberapa kali.
Bulan lalu, Amerika Serikat (AS) menuding China telah menutupi jumlah kasus dan korban virus corona yang sesungguhnya.
Pejabat AS mengklaim kesimpulan dari laporan Gedung Putih menyatakan bahwa angka yang dilaporkan secara resmi oleh China itu palsu.
Saat ditanya soal angka kematian virus corona di AS, yang kini mencapai lebih dari 87 ribu, Presiden Donald Trump mengatakan :
"Apakah Anda berpikir telah mengetahui angka sesungguhnya dari beberapa negara itu?"
"Apakah Anda percaya angka-angka dari negara besar yang bernama China ini?"
"Memang mereka memiliki sejumlah kasus dan kematian."
"Apakah ada yang benar-benar mepercayainya?"
"Laporan yang kami buat sangat baik dan kami melaporkan setiap kematian."
"Kami memiliki banyak kasus karena kami melaporkan lebih banyak."
"Apakah ada yang benar-benar percaya jumlah dari beberapa negara yang Anda tonton dan laporkan ini?"
* Peneliti China Temukan Virus Serupa Covid-19 di Kelelawar, Bukti Corona Tak Bocor dari Laboratorium?
China terus berupaya menampik tudingan Amerika dan Eropa bahwa virus Corona bukan berasal dari Laboratorium Wuhan yang bocor.
Tidak sekedar argumentasi, para peneliti China membuktikan melalui hasil penelitian terbaru yang menemukan virus serupa covid-19 pada kelelawar.
Akankah Amerika dan Eropa percaya?
Penelitian mengenai virus corona masih terus dikembangkan oleh para peneliti di seluruh penjuru dunia.
Terbaru, peneliti menemukan virus serupa dengan Covid-19 pada kelelawar.
Temuan ini diklaim menjadi bukti bahwa virus corona tak bocor dari laboratorium.
Pandemi corona masih menjadi masalah serius yang dihadapi oleh negara di berbagai belahan dunia.
Mengutip dari worldometers.info, hingga Rabu (13/5/2020) malam, terdapat 4,3 juta orang di dunia yang telah terinfeksi.
Amerika Serikat menjadi negara yang menduduki posisi pertama kasus Covid-19 terbanyak.
Total ada 1,4 juta kasus dengan 83 ribu kematian.
Meski pertama kali muncul di Wuhan, China, nyatanya kasus terbanyak justru diduduki oleh negara-negara Amerika dan Eropa.
Belakangan ini, muncul teori bahwa virus corona merupakan hasil kebocoran dari laboratorium di Wuhan.
Presiden AS Donald Trump terus menyebut bahwa Covid-19 bermula dari Insitut Virologi Wuhan.
Sebuah penelitian terbaru di China seolah menampik tuduhan Trump.
Peneliti baru saja menemukan "kerabat dekat" virus corona pada kelelawar di Tiongkok.
Penemuan ini mungkin akan menambah bukti teori bahwa patogen pandemi tersebut berevolusi secara alami.
Studi ini dilakukan oleh para peneliti China dan Australia.
Dalam studi peer-review yang akan diterbitkan dalam jurnal Current Biology, ditemukan bahwa kedua virus memiliki keterkaitan fitur untuk memicu penyakit.
Mengutip South China Morning Post, para peneliti mengatakan bahwa temuan tersebut menunjukkan karakteristik virus yang berkembang secara alami, bukan gen buatan seperti yang dikatakan beberapa orang.
Peneliti menemukan kerabat dekat yang disebut RmYNo2 di antara 227 sampel kelelawar.
Sampel dikumpulkan di Provinsi Yunnan di China barat daya antara Mei dan Oktober tahun lalu.
Seperti Sars-CoV-2, RmYNo2 juga memiliki sisipan asam amino di persimpangan subunit protein lonjakannya.
Sisipan tersebut dianggap dapat meningkatkan kapasitas virus corona untuk menyebabkan penyakit.
Sebelumnya hal ini dianggap tak biasa bahkan dinilai merupakan manipulasi laboratorium.
"Temuan kami menunjukkan bahwa peristiwa penyisipan ini, yang awalnya tampak sangat tidak biasa, dapat, pada kenyataannya, terjadi secara alami pada betacoronavirus hewan," kata Direktur Institutes of Patogen Biology Profesr Shi Weifeng kepada Science Daily.
Weifeng menambahkan, temuan ini jyga menjadi bukti kuat bahwa virus corona tak bocor dari laboratorium.
"Ini memberikan bukti pertentangan kuat bahwa Sars-CoV-2 telah melarikan diri dari laboratorium," katanya.
Para peneliti juga mengonfirmasi bahwa kelelawar tapal kuda Melayu, yang banyak ditemukan di seluruh barat daya China dan Asia Tenggara adalah tuan rumah RmYNo2.
Kelelawar menjadi reservoir alami yang penting untuk coronavirus.
Meskipun memiliki fitur penyisipan yang serupa, RmYNo2 tampaknya jauh lebih aman untuk manusia daripada Covid-19.
Perbedaan mendasar yakni RmYNo2 tak memiliki bagian penting dari genom Sars-CoV-2 yang berperan dalam mengikat virus corona ke sel manusia.
Asam amino dalam insersi juga berbeda.
Para peneliti menyebut, RmYNo2 bukan leluhur langsung dari Sars-CoV-2.
Menurut Weifeng, masih ada celah dalam proses evolusi virus-virus tersebut.
“Masih ada celah evolusi antara virus-virus ini. Tetapi penelitian kami sangat menyarankan bahwa pengambilan sampel lebih banyak spesies satwa liar akan mengungkapkan virus yang bahkan lebih dekat hubungannya dengan Sars-CoV-2 dan bahkan mungkin leluhur langsungnya, yang akan memberi tahu kita banyak tentang bagaimana virus ini muncul pada manusia, " katanya.
* Tindaklanjuti Tudingan terhadap China, WHO Minta Negara-negara Investigasi Kasus Awal Covid-19
Banyaknya dorongan untuk melakukan penyelidikan awal mula virus corona, lebih-lebih Amerika Serikat yang terang-terangan menuding China yang membuat Covid-19 itu, membuat WHO tidak bisa tinggal diam.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (5/5/2020) meminta negara-negara di dunia untuk menginvestigasi kasus awal Covid-19 yang mencurigakan seperti yang terjadi di Perancis.
Dilansir dari Reuters, Sebuah rumah sakit di Perancis yang melakukan uji ulang sampel dari pasien pneumonia menemukan bahwa rumah sakit itu rupanya telah merawat pasien dengan Covid-19 pada 27 Desember 2019, hampir satu bulan sebelum pemerintah Perancis mengonfirmasi kasus Covid-19 pertama di negara itu.
Tim peneliti Perancis yang dipimpin oleh Yves Cohen, kepala resusitasi di rumah sakit Avicenne dan Jean Verdier, menguji ulang sampel dari 24 pasien yang diobati pada Desember 2019 dan Januari lalu dan negatif flu sebelum Covid-19 berkembang menjadi pandemi.
Hasil uji itu diterbitkan dalam International Journal of Antimicrobial Agents dan menunjukkan bahwa satu pasien, seorang pria berusia 42 tahun kelahiran Aljazair dan telah tinggal lama di Perancis bertahun-tahun serta berprofesi sebagai pedagang ikan segar terinfeksi Covid-19.
"Satu bulan sebelum kasus pertama dilaporkan di negara kami," kata laporan itu.
Respons WHO
Hasil yang dilaporkan dari jurnal internasional itu dianggap WHO 'tidak mengejutkan'.
"Sangat memungkinkan bila ada beberapa kasus awal yang ditemukan," ujar juru bicara WHO, Christian Lindmeier pada rapat singkat PBB di Jenewa.
Untuk itu, dia mendesak negara lain untuk memeriksa rekam kasus pada akhir 2019. Tindakan itu akan memberi pandangan baru dan lebih jelas untuk dunia terkait wabah virus corona.
Pakar independen mengatakan penemuan itu dibutuhkan penyelidikan lebih lanjut.
"Tidak dimungkiri kasus ini ada di awal, namun buktinya masih belum dikonklusikan," ungkap Jonathan Ball, seorang profesor molekular virologi di Universitas Britain di Notthingham.
Seorang pakar dari Universitas Leeds, lembaga penelitian medis Stephen Griffin mengatakan bahwa penemuan itu adalah penemuan penting yang potensial.
Dia juga menambahkan, "Kita harus waspada ketika menginterpretasikan penemuan-penemuan ini."
Sementara itu, Yves Cohen mengatakan pada televisi Perancis pada Senin (4/5/2020) bahwa terlalu dini mengatakan jika pasien yang perjalanan terakhirnya di Aljazair pada Agustus 2019 itu adalah pasien awal Covid-19 di Perancis.
Namun, identifikasi pasien terinfeksi pertama merupakan minat epidemiologis yang besar karena telah mengubah pengetahuan secara dramatis tentang Sars-Cov-2 dan penyebarannya di Perancis, demikian tulis Cohen dan rekan penelitinya di surat kabar yang merinci tentang penemuan mereka itu.
Mereka mengatakan tidak adanya hubungan dengan China dan kurangnya perjalanan baru-baru ini menunjukkan bahwa penyakit ini sudah menyebar di antara populasi Perancis pada akhir Desember 2019.
Perancis, negara dengan hampir 25.000 orang meninggal akibat Covid-19 sejak 1 Maret lalu, mengonfirmasi tiga kasus pertamanya pada 24 Januari, termasuk dua pasien di Paris dan satu lagi di kota barat daya Bordeaux.
Rowland Kao, seorang profesor epidemiologi hewan dan ilmu data di Universitas Edinburgh, mengatakan bahwa bahkan jika penemuan itu dikonfirmasi, identifikasi Covid-19 yang positif pada bulan Desember.
"Tidak selalu mengindikasikan bahwa penyebaran Covid-19 dari Perancis dimulai sedini ini. Jika dikonfirmasi, apa yang perlu disorot dari kasus ini adalah kecepatan penularannya yang bermula dari tampaknya tempat terpencil dapat menyebar ke tempat lain dengan cepat."
WHO Ingin Berpartisipasi
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada Jumat (1/5/2020) bahwa pihak mereka berharap China mengundang mereka berperan dalam penyelidikan terhadap asal-usul hewan apa yang menyebabkan kemunculan virus corona.
Juru bicara WHO, Tarik Jasarevic mengatakan kepada media Perancis AFP lewat e-mail, "WHO akan tertarik untuk bekerja dengan mitra internasional dan atas undangan pemerintah China untuk berpartisipasi dalam investigasi seputar asal-usul hewan (penyebab Corona)."
Dia mengatakan badan kesehatan PBB memahami bahwa ada sejumlah penyelidikan yang dilakukan China untuk lebih mengerti sumber wabah.
Namun, WHO menambahkan saat ini mereka tidak terlibat dalam studi China tersebut.
Para ilmuwan meyakini virus pembunuh itu berpindah dari hewan ke manusia dan muncul pertama kali di China akhir tahun lalu.
Kemungkinan pertama kali munculnya di sebuah pasar yang menjual hewan eksotik untuk dikonsumsi di kota Wuhan, Provinsi Hubei China.
Akan tetapi, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah memicu spekulasi dan rumor yang ditolak secara umum oleh para ahli.
Bahwa, virus itu mungkin muncul di laboratorium China yang sangat rahasia.
WHO juga menghadapi kritik pedas dari presiden Trump yang awal bulan ini menangguhkan pendanaan kepada badan internasional itu.
Trump menuduh WHO telah meremehkan keseriusan wabah dan bertekuk lutut di hadapan China.
Kepala badan kesehatan PBB, Tedros Adhanom Ghebreyesus sebelumnya memang melakukan perjalanan dengan sebuah tim ke China pada akhir Januari dan bertemu dengan presiden China, Xi Jinping untuk menindak lanjuti respons China tentang wabah.
Namun, penyelidikan yang dilakukan telah dilakukan di China, WHO belum dilibatkan.
"Studi penyelidikan yang tengah berlangsung itu melihat kasus manusia dengan gejala saat wabah berlangsung di Wuhan akhir 2019.
Sampel lingkungan dari pasar dan peternakan di area di mana kasus pertama terjadi dan rekaman detil dari sumber dan tipe spesies hewan liar serta hewan ternak yang dijual di pasar itu," ungkap Jasarevic.
Dia menegaskan bahwa hasil dari kajian asal virus "penting untuk mencegah masuknya penyakit zoonosis lebih lanjut yang menyebabkan Covid-19 ke populasi manusia."
Dia juga mengatakan kalau WHO terus berkolaborasi dengan pakar kesehatan manusia dan hewan, beberapa negara dan mitra lainnya untuk mengidentifikasi kesenjangan dan priorittas penelitian untuk pengendalian Covid-19.
Termasuk, identifikasi sumber virus di China.
Bukan Buatan Manusia
WHO menegaskan, virus corona bukan buatan manusia setelah Presiden AS Donald Trump mengklaim berasal dari laboratorium.
April lalu, sang presiden menyatakan bahwa Covid-19 dibuat di China. Bahkan, dia mengaku mempunyai dasar argumen tudingannya.
"Ya, saya punya. Saya kira WHO harus malu dengan diri mereka, karena mereka seperti juru bicara bagi China," sembur Donald Trump.
Namun Maria Van Kerkhove, koordinator teknis untuk Covid-19 berusaha mematahkan klaim sang presiden dengan berujar, virus corona berasl dari kelelawar.
"Keluarga virus corona biasanya berputar di antara binatang, dengan banyak variannya berasal dari kelelawar," kata Maria Van Kerkhove kepada BBC's Andrew Marr.
Dilansir Daily Mirror Minggu (3/5/2020), Maria Van Kerkhove menerangkan berdasarkan urutan genom yang ada, virus bernama resmi SARS-Cov-2 itu berasal dari alam.
Karena mereka menganggap sumbernya berasal dari alam, Maria Van Kerkhove mengatakan bahwa fokus badan kesehatan adalah mencari hewan perantara.
"Kami harus memahami siapa perantaranya. Yakni hewan yang kemungkinan terinfeksi dari kelelawar sebelum menginfeksi manusia," jelas Maria Van Kerkhove.
Dengan mengidentifikasi hewan transisi itu, maka mereka bisa menentukan kebijakan untuk memutus rantai penyebaran pandemi virus corona.
Dr Van Kerkhove melanjutkan, setiap negara harus tetap waspada dan bersiap menghadapi jika ada gelombang transmisi baru SARS-Cov-2.
Dia menjawab masih mungkin, saat ditanyakan apakah gelombang kedua bisa terjadi di negara-negara yang mulai melonggarkan lockdown mereka.
"Yang kami lihat dari negara yang sukses dalam menangkal penularan adalah, masyarakatnya masih bersikap skeptis," papar Maria Van Kerkhove.
"Karena itu, semua negara sekali lagi tetap waspada terhadap segala penularan, meski mereka sukses dalam memutus mata penyebaran," papar dia.
Dia merespons ucapan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengenai perlunya masker untuk tetap keluar rumah saat lockdown dilonggarkan.
Maria Van Kerkhove menjelaskan, masker memang direkomendasikan WHO. Tetapi, penutup wajah saja tidak mampu mengatasi wabah ini.
"Terutama jika Anda berbicara soal lockdown. Banyak yang harus disiapkan jika ingin mengangkatnya, dan harus dilakukan bertahap," ujar dia.
Maria Van Kerkhove melanjutkan, orang yang sudah terinfeksi virus corona akan mendapat dampak. Seperti kerusakan di bagian paru-paru.
"Kita harus tetap mengikuti individu ini. Kita masih empat bulan terkena wabah. Jadi ini adalah momen yang sangat awal," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "WHO Minta Negara-negara di Dunia Investigasi Kasus Awal Covid-19"
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Peneliti Temukan Virus Serupa Covid-19 pada Kelelawar, Bukti Corona Tak Bocor dari Laboratorium,
Editor: Alfred Dama
Belum ada Komentar untuk "Bukti Kebohongan China Makin Terbongkar, Jumlah Korban Corona Negeri Tirai Bambu Mencengakan "
Posting Komentar